Rabu, 05 Oktober 2011

Bicaralah Perempuan.....




Bicaralah Perempuan adalah buku yang menyuarakan tentang berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Buku ini, meski banyak berbicara tentang luka, penghiatanan, dan air mata; namun tidak hendak mengajak anda berlarut-larut dalam duka. Sebaliknya, berharap ini akan menjadi halilintar yang membangunkan banyak orang dari mimpi panjang. Kekerasan terhadap perempuan begitu nyata, sangat dekat, dan menuntut partisipasi kita semua tanpa harus berfikir lambat.
Hebatnya, setiap bagian dalam buku ini membawa pesan tersendiri. Kendati kebanyakan dari mereka adalah penyangga keluarga dan tidak punya cadangan hidup, tetapi bagi mereka perjuangan martabat manusia sebagai perempuan harus lebih penting. Mereka tidak takut lapar, tidak takut dipecat, tidak takut miskin.
Perjuangan bukan saja untuk mereka, tetapi mereka ingin yang lain tidak mengalami hal serupa. Proses pembuktian yang tidak rasional dan tidak ramah korban, posisi yang dilemahkan dan akses jaringan vertikal yang tak berbanding dengan pelaku, stigmatisasi dan penyalahan korban; semua dilampaui sebagai perjuangan. Inilah bentuk nyata korban yang jadi pembela.
Kita mahfum, pelecehan seksual kerap lebih samar karena salah satu ukurannya adalah tindakan pelecehan tersebut “tidak berkenan atau tidak dikehendaki” oleh si korban. Jadi tindakan fisik, lisan, sikap, isyarat seperti rabaan, siulan, rayuan, mimik atau tatapan yang berkonotasi seksual, bisa masuk katagori pelecehan seksual ketika si korban tidak menghendakinya. Tetapi memang ini menjadi debat teoritik, karena dalam satu kultur patriarkat (budaya yang mengunggulkan laki-laki), tindakan terhadap perempuan lewat siulan, godaan, colekan, dianggap lazim, baik bagi si korban maupun pelaku yang tidak bisa berjarak dari kultur tersebut. Bahkan si perempuan merasa tersanjung dan laki-lakinya merasa jantan dan ”gaul”.
Jadi mengandalkan ukuran dikehendaki atau tidak oleh korban, pada konteks masyarakat tertentu, justru mengaburkan substansi pelecehan seksual, yaitu merendahkan dan menaklukkan dengan kuasa kelelakian. Untuk itu ukurannya bukan subyektif semata, tetapi justru ukuran martabat kemanusiaan. Disinilah pentingnya, sebab Bicaralah Perempuan hadir untuk lebih memanusiakan manusia
Dalam semangat itulah buku ini dilahirkan. Membawa spirit perubahan, yang lahir dari rahim gerakan serikat buruh di Serang – Banten, serta menjadi bagian tak terpisahkan dari ‘Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan’ yang dilaksanakan bersama-sama dengan Komnas Perempuan. Buku ini, diharapkan akan menjadi tonggak penting kebangkitan Kaum Perempuan Indonesia; untuk lebih peduli, berbagi daya, dan bergandengan tangan dalam hangatnya kebersamaan. Ini murni proyek sosial. Sebuah lentera, untuk berbagi cahaya dan pencerahan.
Dalam pengantarnya, Yuniyanti Zhuzaifah, Ketua Kominasi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan: “Membaca buku ini serasa membaca karya sastra para penerima award penulisan bergengsi di nusantara. Yang membedakan adalah, semua aksara tersebut menghantarkan tuturan buah pengalaman nyata soal pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami oleh sahabat-sahabat kita.” Tidak hanya yang terjadi di dalam negeri, tetapi juga, yang berada di luar negeri.

Aku adalah perempuan yang merindu...
membiarkan matahari lelap hingga bermimpi
tentang rindu yang kau titip di kedalamannya
sungguh aku berharap
kelak kau akan datang
menghanyutkan dirimu dalam pelukku
MATAhariku...
harapku NUR Muhammad
memberiku kekuatan untuk belajar
menata rindu dan pertemuan juga perpisahan
yang aku yakini sebagai awal bagi
kisah-kisah yang akan manis pada akhirnya
Islam Mosque