Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan
Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir
Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar
yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Hari Kartini, yang diperingati setiap tanggal 21
April, selalu di kenang dengan Lomba kebaya dan lagu “Ibu Kita Kartini,”
demikianlah kenangan itu dirayakan. Dari tingkat sekolah-sekolah dasar sampai
Sekolah Menengah Atas sudah menjadi agenda dan pemandangan tahunan. Peringatan
dari tahun ke tahun yang statis, akhirnya timbul satu pertanyaan: apa yang
kebanyakan orang ketahui tentang Kartini? Selain
tentang tanggal kelahirannya pada 21 April 1879 di Jepara, bisa dipastikan
khalayak juga tahu tentang surat-surat Kartini yang terkumpul dalam sebuah buku
dan diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang,” Judul buku kumpulan
surat-surat Kartini kepada beberapa sahabatnya di Belanda ini memang sudah amat
dikenal orang. Semacam pengetahuan umum yang wajib diketahui.
Namun sayangnya, kepopuleran “Habis Gelap
Terbitlah Terang” di negeri ini bukan berarti telah banyak orang yang
benar-benar mengetahui isi surat-surat Kartini. Padahal, apa makna peringatan
Hari Kartini bisa dipahami semata-mata hanya dengan mengetahui buah-buah
pikirannya dalam surat-surat tersebut. Apabila disurvei atas “tuduhan” ini.
Memang, Sebagian besar perempuan dan seluruh bangsa Indonesia tidak banyak yang
mengetahui atau pernah mendengar, apalagi membaca tentang buku kumpulan
surat-surat Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang,” mengaku belum pernah
membaca kumpulan surat Kartini. Bahkan ironisnya, hampir tidak pernah melihat “wujud”
buku tersebut.
Surat-surat setelah Kartini wafat, Mr. J.H.
Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A
Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai
Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul
“Door Duisternis tot Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku
kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada tahun 1911. Buku ini dicetak
sebanyak lima kali dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes
L. Symmers.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan
pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda dan pemikiran-pemikiran
Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi
di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga
menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia.
Pemikiran
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial
saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar
surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa
yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki
kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya,
seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf-vertrouwen dan
Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit,
Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah
dengan Humanitarianisme (Perikemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk
memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella”
Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda
Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat,
yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan
dengan laki-laki yang tak dikenal dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya
adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus
dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia ungkapkan juga
tentang pandangan: Dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering
menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. “…
Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa
diperbuat orang atas nama agama itu…”
Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang
dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini,
lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok
rumah dan tersedia untuk dimadu pula. Pada bab awal ini. Surat-surat Kartini
banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika
bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang
ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya
meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.
Kartini sangat mencintai sang ayah. Namun
ternyata, cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi
kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah, dalam surat, juga
diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan
Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan
Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah
kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi
terutama ke Eropa memang diungkap dalam surat-surat. Beberapa sahabat penanya
mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Dan ketika
akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap
adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar
ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasehati oleh
Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Kemudian, pada pertengahan tahun 1903 saat
berusia sekitar 24 tahun, niatan untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi
pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak
berniat lagi karena ia sudah akan menikah. “…Singkat dan pendek saja, bahwa
saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan
kawin…” Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka
pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Pada saat menjelang pernikahan, terdapat
perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia
menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan
keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam
surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung
keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumi
putra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Mengenai Kartini ada satu hal menarik yang jarang dikemukakan pada publik.
Dalam surat yang dikirim oleh R.A Kartini pada 27 Oktober 1902 kepada nyonya
R.M.Abendanon-Mandri seperti yang dimuat dalam buku “Door Duisternis to Licht”
Karya-Karya
”Habis Gelap Terbitlah Terang” Pada
1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa
Melayu dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”; Buah Pikiran. Buku ini
diterbitkan oleh balai pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor
Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke
dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Pada 1938, buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”
diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari
“Door Duisternis Tot Licht”. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak
sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke
dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini
dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan
surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia
lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran
Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga
menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam “Habis
Gelap Terbitlah Terang”. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca
sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu
penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Surat-surat
Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, Surat-surat Kartini juga
diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin menerjemahkan ”Door
Duisternis Tot Licht” di Universitas Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan studi
di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta
Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang
dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna.
Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi
lengkap “Door Duisternis Tot Licht” pun terbit.
Letters from
Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904, Buku lain yang berisi terjemahan
surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist
1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Cote. Ia tidak hanya menerjemahkan
surat-surat yang ada dalam “Door Duisternis Tot Licht versi” Abendanon. Joost
Cote juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri
hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Cote, bisa ditemukan
surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam “Door Duisternis Tot
Licht” versi Abendanon. Menurut Joost Cote, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan
pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap. Buku “Letters from Kartini, An
Indonesian Feminist” 1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya
Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya:
46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah dan Soematrie.
Panggil Aku
Kartini Saja, Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan
pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku
Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja
terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh
Pramoedya.
Kartini
Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini
lewat buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya.
Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis
untuk Abendanon, diterbitkan dalam “Door
Duisternis Tot Licht”.
Aku Mau…Feminisme
dan Nasionalisme, Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903:
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903
diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah
lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté,
diterjemahkan dengan judul “Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme”. Surat-surat
Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903. “Aku Mau …” adalah moto Kartini.
Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan
dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial,
budaya, agama, bahkan korupsi.
Penghargaan
Kartini di Belanda dijunjung tinggi sebagai pejuang emansipasi di
Hindia-Belanda dulu sampai sekarang. Pemda Den Haag di tahun 2007 ini spesial
menyediakan tropi Kartini untuk perorangan/organisasi di Den Haag yang berjuang
dalam bidang emansipasi ala Kartini dulu. Kartini-Tropi tahun 2007 ini
diberikan kepada wanita Maroko bernama Rahma El Hamdaoui yang berjuang membela
emansipasi di sebuah kampung bernama Schilderswijk di Den Haag.
Penutup
Perempuan Indonesia di abad modernisasi ini yang materialistis dalam memandang
dagelan hidup, sungguh berbeda dengan perempuan Anak pertama dan sekaligus
terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. yang wafat pada
usia 25 tahun. Perempuan yang dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Datang dari kelas menengah atas ini, Indonesia masih dipenuhi oleh buruh-buruh
kecil tanpa pendidikan yang menulis di remang-remang lampu teplok di pemukiman
kumuh. Di sanalah tersisa pergulatan Kartini pada abad ke-21 di era yang masih
terpingit di tengah hiruk-pikuk persilangan global-lokal berjuang setengah mati
dan penuh peluh dalam memperjuangkan emansipasi kaumnya..
Sebagian dari mereka punya kesempatan
mengaktualisasikan diri melalui komunitas buruh atau komunitas sastra, sebagian
besar tak punya akses untuk membuat suaranya terdengar. Bagaimana mereka
menyikapi proses-proses peluasan atau penyempitan ruang gerak dalam otonomi
daerah, dalam tatanan ekonomi global, dalam kekerasan berbasis budaya maupun
ideologi? Siapa akan mendengar mereka? Masih banyak Kartini-Kartini yang bahkan
belum bisa menemukan suara mereka. Berapa harga yang harus mereka bayar untuk
bersuara dan siapa yang akan menanggungnya? Siapa yang lagi yang peduli dengan
kaumnya, kalau tidak bukan kaumnya sendiri………