Jumat, 28 Juni 2013

Fenomena Politik dalam Pilkada di Indonesia...




by 
"Israwati Sarbia"


Konsep otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia telah memberikan kemungkinan bagi setiap daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menentukan pemerintahannya masing-masing. Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian pemimpin. Pemilu dalam skala besar dilakukan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), untuk memilih Gubernur/Walikota/Bupati beserta Wakilnya. Penerapan pemilu dalam skala kecil seperti pemilihan Ketua RW/RT, Ketua Kelas, Ketua Jurusan, Ketua Himpunan dan lain-lain. Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta dilandasi dengan semangat jujur dan adil. Oleh karena itu pelaksanaan Pemilu perlu dikelola dengan baik dan benar 

Namun dalam proses penyelenggaran pemilu dan pilkada, banyak konflik muncul tak hanya di level elit politik yang bertarung memperebutkan kursi, melainkan juga terjadi dilevel horizontal yakni antara sesama warga masyarakat. Sesungguhnya, substansi Pilkada jika kita lihat dari perspektif komunikasi politik dapat menjadi saluran institusional konflik politik. Dengan mekanisme yang disepakati, konflik politik bisa terwadahi dengan baik. Namun dalam praktiknya, berbagai kesepakatan dalam mekanisme Pilkada kerap kali dilanggar sehingga konflik aktual di ruang publik yang tidak sistemis. Tensi politik di wilayah yang menyelenggarakan Pilkada biasanya memanas seiring dengan munculnya rivalitas antara berbagai kekuatan politik yang bertarung dalam Pemilu. Dalam konteks inilah, politik kerap kali didefinisikan sebagi “ who gets what and when ”. Sebuah upaya untuk mencapai kekuasaan, yang sejatinya memang menarik minat banyak orang. Menurut Deliar Noer, Politik merupakan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah ataumempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat. Kegiatan politik dalam konteks ini menyebabkan munculnya partisipasi politik.

Samuel P. Hunington dan Joan M. Nelson menggarisbawahi bahwa partisipasi adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak Efektif. "By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision making. Participation my be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful orviolent, legal or illegal, effective or ineffective". Penyelenggaraan Pilkada tentu saja merupakan aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan. Seluruh partai memiliki kepentingan, begitu pun individu kandidat yang hendak bertarung. Mereka akan mengoptimalkan seluruh kekuatan termasuk kekuatan dari para pendukungnya masing-masing. Jika ada kesiapan untuk menang dalam sebuah rivalitas, seyogyanya juga harus ada kesiapan untuk kalah. Namun demikian, banyak kandidat yang ternyata tidak siap kalah sehingga dengan sadar memicu konflik besar di daerah. Partsipasi politik warga masyarakat kerapkali juga tidak dalam domain kesadaran pemilih rasional (rasional voter) melainkan keasadaran palsu yang dimanipulir oleh ikatan-ikatan tradisional, sentimen etnis, budaya patriarki, ideologisasi agama dan lain-lain.

Bangsa Indonesia sudah bersepakat untuk berdemokrasi melalui pemilihan langsung baik di tingkat pusat maupun daerah. Momentum ini dapat mengukur penampilan politik (political performance) di pemerintahan pusat maupun daerah dalam suatu sistem demokrasi. indikator-indikator penampilan politik jika merujuk pada pendapatnya Bingham ada lima, yakni : Pertama, legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Kedua, pengaturan pengorganisasian perundingan (bergaining) untuk memperoleh legitimasi yang dilaksanakan melalui Pemilu yang kompetitif. Ketiga, sebagian orang dewasa dapat ikut serta dalam proses Pemilu, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting. Keempat, penduduk dapat memilih secara rahasia tanpa ada paksaan. Kelima, Masyarakat dan pemimpinnya bisa menikmati hak-hak dasar warga negara, seperti kebebasan berbicara, kebebasan berkumpuldan berorganisasi serta kebebasan pers (Bingham Powel Jr, 1982). 

Kenyataan di bebarapa Pilkada yang sudah terselenggara banyak yang tidak melahirkan legitimasi. Hasil yang ditetapkan tidak memiliki wibawa sebagai hasil yang syah, sehingga muncul gelombang penentangan dari berbagai pihak, terutama dari pendukung calon yang kalah. Di banyak tempat, Pilkada juga tidak memiliki sistem pengorganisaian perundingan. Buktinya seperti di kasus Pilkada Maluku Utara dan Sulawesi Selatan, saluran perundingan tidak tertata secara baik. Berbagai pihak otoritatif seperti KPU, DPRD juga Menteri Dalam Negeri tidak memiliki wibawa untuk membawa konflik pasca Pilkada secara lebih elegan. Faktor lain, masih banyaknya orang yang tidak dapat berpartisipasi dalam Pilkada. Hal ini indikatornya adalah tingginya golput, bahkan di beberapa provinsi dan kota utama di Indonesia golput “memenangkan” Pilkada. Jika golput memenangi Pilkada artinya begitu kuatnya ketidakpercayaan dari warga masyarakat kepada sistem penyelenggaran Pilkada akan melahirkan perbaikan nasib mereka ke depan. Faktor selanjutnya adalah masih adanya ketidakrahasiaan dalam pemilihan dan tersumbatnya hak-hak dasar warga negara. Kasus dibeberapa Pilkada, warga memilih karena berada dalam tekanan baik dari organisasi massa, organisasi keagamaan, preman politik dan lain-lain. Berbagai tekanan yang dirasakan menyebabkan warga kehilangan kritisisme, kehilangan hak memilih sesuai nurani dan lain-lain. Jika semua itu terjadi, maka political performance di sebuah daerah dengan sendirinya akan buruk dan berpotensi melahirkan konflik pasca pilkada.

Rentetan kasus dalam penyelenggaraan Pilkada yang berujung konflik bisa jadi memperlemah political performance terutama, jika konflik tak bisa dikelola secara baik oleh pihak-pihak yang terkait langsung dengan penyelenggaraan Pilkada. 

Antusiasme masyarakat menyukseskan Pilkada, bisa dipahami terutama dalam konteks sosio-politis dan psiko-politis masyarakat. Secara sosio-politis, Pilkada merupakan momen historis bagi Bangsa Indonesia, di mana para kepala daerah dipilih secara langsung. Ini merupakan „hajatan‟ baru yang akan menentukan nasib penanganan daerah-daerah dimasa mendatang. Model birokrasi daerah yang selama ini elitis dan menutup akses dari partisipasi rakyat, mau tidak mau harus tunduk pada kedaulatan rakyat. Peran besar yang diberikan kepada rakyat untuk menentukan kepala daerah mereka masing-masing inilah yang menciptak an atmosfir kesemarakan. Sementara secara psiko-politis, ada semacam rising expectation dari masyarakat pada penyelenggaraan Pilkada sebagai efek domino dari proses demokratisasi di tingkat nasional.

Bangsa Indonesia telah melewati Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden secara langsung.Pengalaman ini, menumbuhkan harapan munculnya kepala-kepala daerah yang bisa sejalan dengan keinginan mereka.

Selamat menikmati proses panjang dari pesta demokrasi di daerah masing2....

Senin, 17 Juni 2013

Tolak Kenaikan BBM....

By
"Israwati Sarbia"

"Setting aksi kalianlah mahasiswa yang paling tahu, juga gagasan dan ide yang kalian bawa, tapi ingat strategi chaos itu butuh ritme, butuh irama yang jiwanya lahir dari dukungan nurani rakyat, militansi tanpa strategi hanya akan menghasilkan mutasi isu, dan pada akhirnya kebenaran dan keadilan yang kalian bawa akan menguap dan energy rakyat dan mahasiswa yang seharusnya menyatu menjadi kontradiksi…"

Demonstrasi ada pada titik-titik vital yang biasanya dilalui oleh pemangku keputusan, jalan-jalan tikus jarang dilewati pejabat. Ketertiban hanya bagian dari doktrin kekuasaan pada capital yang diaminkan masyarakat kelas menengah-atas. Masyarakat bawah umumnya tidak peduli dengan ketertiban, mereka penat dengan urusan mencari sesuap nasi. Dalam pandangan ekonomi politik, jalan raya punya arti strategis saat aksi-aksi radikal pecah begitu juga dengan konteks waktu.Untuk member shockteraphy pada kesadaran seluruh elemen, maka stratak untuk tidak tertib harus dilakukan. Demostrasi itu seperti koboy yang bikin onar, biasanya koboy baru bisa kita mengerti setelah jauh dari keonaran.

Aksi-refleksi membuat demo jadi keniscayaan. Bila demonstrasi menjadi alas an kemarahan pada kemacetan, cukup adilkah itu? Coba liat struktur tata ruang kota, bukankah wajar kalau macet? Atau tidak kah kita marah pada sebab mereka demo? Jangan melihat asapnya tapi tidak pada sumbu apinya. Lagipula di kota ini kita sudah lama kacau, sampah, jalan, bangunan, alur perekonomian, dll. Mahasiswa sadar pada kekacauan ini, stimulus dimensi fractal pada masyarakat yang percaya pada pseudo ketertiban dan kenyamanan.

Sekian dan hidup Mahasiswa……
(sekelumit pro dan kontra masyarakat di kota Makassar terhadap aksi demonstrasi mahasiswa)
Islam Mosque