Selasa, 14 Januari 2014

Memaknai Maulid Nabi Muhammad SAW dan Filosofi Telur Maulid....

Maulid Nabi Muhammad, saw adalah sebuah upacara atau peringatan untuk mengenang lahirnya Nabi Muhammad, saw. Nabi Muhammad merupakan penyebar agama islam. Dalam hidupnya, dia memiliki perilaku yang baik, sehingga disebut sebagai uswatun hasanah (contoh teladan yang baik). Ide maulid nabi terjadi pada saat Salahudin (berasal dari suku Ayyub) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji. Ia menghimbau agar jemaah haji setelah kembali ke kampungnya masing-masing mensosialisasikan perayaaan Maulid Nabi. Salahuddin menyatakan bahwa mulai tahun 580 H (1184 M), setiap 12 Rabiul-awal, dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dan diisi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat juang umat Islam. Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid’ah yang terlarang.

Di dalam peringatan Maulid terdapat dzikir, shalawat, memuliakan Nabi dan sedekah, yang kesemuanya dianjurkan oleh syara. Perayaan Maulid itu, di samping juga sebagai momen bersedekah, sebagai bukti akan kebahagiaan dan kecintaan Muslimin kepada Nabi Muhammad saw. Untuk hal ini, ada baiknya dikutip pendapat Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah mengatakan Muslimin yang memperingati Maulid atas niat yang tulus dan atas dasar cinta kepada Nabi Muhammad saw, maka akan mendapat pahala, bukan atas bid’ahnya
 
Berangkat dari latar belakang historis maulid tersebut, jelas bahwa maulid itu sangat bergantung kepada konteks. Jika dahulu Salahuddin berhadapan dengan tentara salib, bagaimana dengan kondisi umat Islam sekarang? Untuk itu diperlukan kejelian dalam melihat permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Diantara persoalan besar yang dihadapi adalah kemelaratan, kemiskinan dan kebodohan serta perpecahan di tubuh umat Islam yang terkadang berakhir dengan konflik berdarah. Keempat persoalan tersebut adalah masalah klasik yang belum terpecahkan sampai detik ini. Adapun amsalah kontemporer yang dihadapi oleh umat adalah terorisme, kekerasan atas nama agama, tatanan dunia yang tidak adil, korupsi, narkoba, judi, pornografi, nepotisme, dan hal-hal lain yang berbau takhayul. Isu-isu ini semstinya diangkat oleh mubaligh, ustaz, da’I ke permukaan dan dibicarakan dalam peringatan Maulid Nabi. Syukur-syukur kita mampu menemukan jalan keluarnya. Adalah lebih baik, jika dari sebuah peringatan maulid kita dapat melahirkan sebuah aksi nyata atau program yang kongkrit yang bisa langsung dirasakan masyarakat seperti pemberdayaan di bidang pendidikan dan ekonomi. Pemberdayaan di dua bidang ini mempunyai peran sentral dalam menangkis umat dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Kebodohan dan kemiskinan umat Islam ini mesti secepatnya dihilangkan karena dua hal ini merupakan satu faktor utama yang menjerambabkan umat Islam dalam aksi kekerasan atau terorisme, perbuatan meluluhlantakan citra Islam sebagai agama damai di tengah percaturan politik global. Jika maulid tidak lagi kontekstual, tidak mempunyai daya pecut menggugah semangat juang kita untuk melakukan langkah kongkret bagi kemjuan dan kemakmuran, hanya sebatas emosional saja, sangat dikhawatirkan umat islam akan terlempar pada romantisme sejarah.

Telur maulid ini mensimbolisasi makna tiga komponen epistemologis dan tiga kualitas diri pada manusia:
1. kulit terluar, secara epistemologis adalah panca indra kualitas cerapannya adalah materi yang empiris atau jasad manusia. Warna warni pada telur menggambarkan kamuflase kehidupan pada diri manusia.
2. kulit kedua (putih telur), secara epistemologis adalah khayal sebagian memaknainya sebagai jiwa pada manusia.
 3. Kulit ketiga (kuning telur), secara epistemologis adalah daya akal pada manusia yang dalam alquran adalah qolbu itu sendiri

Hal diatas adalah interpretasi saya sendiri dari penjelasan seorang budayawan dan maestro sinrili' asal Makassar Alm. Sirajuddin daeng Bantang yang menjelaskan bahwa telur maulid menggambarkan tiga lapis pada diri manusia yakni fisik, jiwa dan roh.

Bambu yang menancap pada telur adalah hubungan vertikal antara seorang hamba dan Tuhannya "habluminallah" yang harus dilalui pada jalan "shiratalmustaqim". Keadaan "lurus" pada bambu menggambarkan seluruh sikap-sikap luhur yang harus ada apa manusia seperti kejujuran, amanah, tulus, ikhlas, tanpa pamrih dsb yang mampu menembus tiga kualitas epistemologis dan esensial pada manusia.

Bambu dan telur itu mampu berdiri tegak dengan kuat jika memiliki pijakan atau akar yang baik tergambarkan pada bambu yang ditancapkan ke dalam nasi songkolo (orang jwa menyebutnya nasi tumpeng) yang berbahan dasar beras dan kelapa yang menggambarkan kehidupan dan manfaat pada manusia atau "hablum minannas".

Singkatnya jika kita melihatnya secara holistik maka Perayaan Maulid Nabi dengan beragam ornamen budanya adalah penggambaran bahwa kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai penyempurna yang akan mengantarkan dan menyeimbangkan manusia dari seluruh proses eksistensial manusia mulai dari "hablumminannas" hingga "habluminallah".

Bila kembali pada sejarah, di atas sudah dijelaskan bahwa peringatan Maulid awal mulanya diadakan sebagai langkah untuk menyalakan api semangat dalam tubuh Muslimin ketika berhadapan dengan ancaman asing.
Padahal, untuk masa ini Muslimin lebih berkepentingan untuk menyalakan kembali semangat Islam.

Karena kondisi masa yang sedemikian ruwet, dan ditambah dengan keterjebakan Muslimin di bawah hegemoni asing, sudah saatnya peringatan Maulid tidak dilihat dari sisi bid’ah hasanah-nya, sebab sisi ini telah disepakati memiliki ekses yang positif bagi Muslimin.

Tapi dipandang dari sisi sebagai momen konfederasi-konsolidasi Muslimin tingkat internasional demi ‘izzul Islam wal muslimin.


*sedikit perspektif dari saya agar tak latah-bid'ah

Islam Mosque