Selasa, 28 Oktober 2008

Filosofi tasbih


Sebuah tasbih adalah sebuah kehidupan, berawal dan berakhir di titik yang sama. Bukan tasbih namanya, jika hanya terdiri dari satu butir, bukan kehidupan namanya, jika hanya satu dimensi. Kehidupan akan sempurna dan indah bila telah melewati serangkaian untaian butiran suka, duka, derita, bahagia, gembira, gagal, sukses, pasang dan surut. Untuk melewati semua itu dibutuhkan keberanian, kesabaran, kekuatan dan perjuangan untuk teru meniti, berjalan, mendaki. Sebab seperti tasbih yang melingkar, kehidupan pun demikian. Ke mana pun akan pergi dan berlari, tetap masih dalam lingkaran takdir Allah. Dari-Nya kehidupan dimulai dan kepada-Nya akan berakhir.
Mungkin itulah yang kemudian tasbih identik dengan dzikir, mengingat Allah. Tasbih menjadi tanda kesalehan, kedekatan hamba dengan Allah. Namun, sebenarnya tasbih juga penanda perjuangan dan semangat gambaran sebuah kehidupan sejati.
Begitu juga cinta, akal manusia terlalu picik jika mengira tasbih hanya cocok untuk mereka yang dekat dengan maut. Dalam kehidupan di dunia yang sesungguhnya, tasbih adalah wakil jiwa yang selalu bergerak, tidak pernah berhenti, pantang menyerah tidak mengenal putus asa, untuk meraih yang lebih tinggi, bahwa hidup adalah karunia paling berharga untuk makhluk bernama manusia. Maka, jangan pernah mengharap cinta bila engkau tidak memiliki keberanian, jangan memeluk cinta bila takut gagal karena, akan sakit hati. Semua itu adalah paket yang akan ditemukan oleh siapa pun dalam meraih cinta.
Cinta …bisakah kita memahami cinta lewat sebuah benda, tasbih???
Mengapa tidak? Cinta adalah sisi lain yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Tasbih adalah keutuhan yang diikat pada sebuah simpul. Hal itu dilakukan agar butiran-butiran kecil dapat menyatu, saling bertautan, seimbang, dan bila dilihat tampak indah. Cinta juga akan menjadi indah jika diterima sebagai sebuah keutuhan. Mencintai adalah aktivitas berat yang membutuhkan keberanian untuk menerima yang dicintai dengan utuh. Sisi kelebihan sudah pasti mudah menerimanya, tapi, bagaimana sisi lainnya yang pasti ada kekurangan, kelemahan. Semudah itukah menerima?
Agar cinta juga menjadi abadi dan kuat, dibutuhkan kesediaan dua ujungnya untuk diikat dalam satu simpul yang kokoh. Tanpa ikatan, tanpa simpul, cinta akan terburai menjadi butir-butir egoisme yang tercerai berai. Bila demikian, bisakah cinta dipandang sebagai sebuah keindahan? Bahkan apakah bisa disebut cinta, bila untuk saling berdekatan hati saja, sudah tidak mampu?

Tidak ada komentar:

Islam Mosque