Kamis, 05 April 2012

Polemik dari sisa voting kenaikan BBM....

Hiruk pikuk rencana kenaikan BBM per 1 April 2012 akhirnya tertunda, pasca terpilihnya opsi penambahan ayat (6a) pada Pasal 7 ayat (6) UU No. 22/2011 tentang APBN 2012. Ayat baru (6 a) ini berbunyi: “dalam hal harga minyak mentah rata-rata Indonesia dalam kurun waktu berjalan yaitu 6 bulan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, maka pemerintah diberi kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya. Dengan patokan harga asumsi ICP (Indonesian Crude Oil Price) pada APBN Perubahan 2012. Setelah disahkan menjadi UU APBN-Perubahan 2012, ketentuan ini akan menjadi ayat 6.a dan mengecualikan Pasal 7 ayat (6) UU APBN 2012 yang prinsipnya MELARANG kenaikan harga jual eceran BBM Bersubsidi (tentu selama APBN 2012 berjalan).

Pasal pengecualian yang memberi wewenang bebas (discretionary power) pada pelaksana UU atau pemerintah–sebenarnya merupakan hal yang lazim dalam pembentukan UU. Ini karena dinamika lingkungan dan situasi obyektif cepat sekali berubah. Dalam dirinya sendiri–UU justru bersifat rigid demi kepastian hukum. Model pengecualian ini praktis telah dilakukan dalam UU APBN dan UU APBN-P tiga tahun sebelumnya. Meskipun opsi pengecualiannya tidak digunakan pemerintah karena syarat untuk menaikkan harga BBM tidak terpenuhi.

Tetapi opsi kenaikan harga BBM dalam APBN dan APBN-P tiga tahun sebelumnya, dan opsi kenaikan untuk APBN-P 2012 yang dilakukan melalui voting pada sabtu dini hari lalu sekaligus juga memperlihatkan wajah bopeng pemerintah yang tidak patuh pada hukum. Ini karena opsi kenaikan harga BBM berpatokan pada harga ICP sesuai mekanisme persaingan dan harga pasar. Ketentuan ini bersandar pada Pasal 28 ayat (1) UU No. 22/2001 tentang Migas. Sementara, pasal ini justru telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004 lalu. Hingga saat ini putusan MK itu masih berlaku.

Maka tidak heran jika Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra sudah berancang-ancang untuk melakukan judicial review jika UU APBN-P 2012 nanti disahkan oleh Presiden. Karena tidak konsisten dengan dengan putusan MK atas Pasal 28 ayat (2) yang bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Pasca putusan MK yang membatalkan Pasal 28 ayat (2) UU Migas pada tahun 2004 lalu, prinsipnya berkonsekuensi pada kewajiban (hukum) pemerintah untuk menetapkan patokan harga migas produksi nasional (ICP) tidak lagi berlandaskan pada mekanisme harga pasar, tetapi penetapan harga tetap (fixed price) yang berpihak pada rakyat dan mengacu pada semanagat: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat“.

Kewajiban (hukum) inilah yang sepertinya dilupakan pemerintah dan DPR sebagai lembaga legislatif. Sehingga meskipun Pasal 28 ayat (2) UU Migas telah dicabut MK, semangat dan ruh ‘liberalisasi‘ UU Migas praktis tetap hidup bergentayangan. Bahkan telah melahirkan UU APBN dan APBN-P selama paling tidak tiga tahun sebelumnya. Dan kini dikukuhkan kembali melalui voting sabtu malam kemarin. Voting atas kebenaran ‘hukum’ dan menjadi dagelan politik yang telah banyak memakan korban, materi dan kekerasan terhadap kelompok anti kenaikan BBM di jalanan.

Karena itulah dalam beberapa bulan ke depan sebelum masa anggaran 2012 berakhir dan syarat untuk opsi kenaikan BBM terpenuhi, tugas dan kewajiban DPR lah untuk segera mendorong pemerintah agar menentukan aturan baru yang dapat menjadi acuan pemerintah dalam menentukan harga BBM yang tidak lagi berdasarkan harga ICP sesuai mekanisme pasar, tetapi berlandaskan UU Migas yang ketentuan dan semangat liberalisasi Pasal 28 ayat (2) telah dicabut. Tidak lagi mendasarkan mekanisme pasar. Pasal 28 ayat (2) UU Migas yang sudah menjadi mayat. Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menyandarkan pada ketentuan yang sudah mati ini.

Jika tidak, maka voting dan rencana kenaikan BBM yang menguras energi dan telah memakan korban luka2 dan materi di sejumlah daerah masih tetap akan menyisakan problem hukum dan politik dalam beberapa bulan, bahkan mungkin juga beberapa tahun ke depan.

Rakyat berharap kepada siapa lagi agar semua warga patuh pada UU, jika pemerintah dan DPR sebagai pembentuka UU mengabaikan amanat konstitusi melalui representasi MK? Delapan tahun telah lewat pasca putusan MK, dan amanat itu belum terlaksana hingga kini. Lebih dari itu, tentu agar BBM yang dihasilkan dari perut bumi Indonesia yang kaya sumber daya alam tidak senantiasa menjadi komoditas politik partai melalui sidang2 tak perlu. Korban dan konflik horisontal tidak perlu berlanjut.

Tidak ada komentar:

Islam Mosque